Adil Ka' Talino, Bacuramin Ka' Saruga, Basengat Ka' Jubata....

Selasa, 27 Januari 2009

Stop Pertanyakan Nasionalisme Tionghoa

CHRISTIANDY: KAMI BUKAN CHINA


OPEN HOUSE
Gubernur Kalbar Cornelis beserta keluarga berkunjung ke rumah Wakil Gubernur Kalbar Christiandy Sanjaya yang merayakan Imlek, Senin (26/1). FOTO Lukas B Wijanarko/Borneo Tribune
============
Budi Rahman
Borneo Tribune, Pontianak

Langit kota diwarnai bunga api, membawa keriangan anak negeri. Meski beda adat dan tradisi mereka bangga menjadi anak negeri.
Suasana perayaan pergantian tahun menjelang musim semi berlalu semarak di seluruh penjuru kota. Tahun baru Imlek 1560 di Kota Pontianak menghadirkan kemeriahan dan kesenangan bagi yang merayakan atau sekedar turut menyaksikan. Pemandangan dan kesemarakkan itu terpancar sejak hari menjelang senja.

Perayaan Imlek masyarakat Tionghoa di Kalbar seperti menemukan momentumnya tahun ini. Meski sempat diwarnai riak-riak kecil dengan adanya ancaman gesekan sosial di level grass root malam perayaan Imlek tetap berjalan meriah. Tradisi yang mewarnai datangnya hari besar warga Tionghoa itupun tersaji indah.
Pesta kembang api hampir semalam suntuk menghiasi langit Kota Pontianak. Sambut menyambut cahaya kembang api membuncah seperti pelangi di malam hari. Tak terhitung jumlah titik dan jumlah nyala kembang api yang menjadikan langit Kota Pontianak indah di malam itu.
Pendopo Gubernur Kalbar di Jalan Ahmad Yani menjadi salah satu sentra peluncuran kembang api di malam tahun baru Imlek. Gubernur, Wakil Gubernur dan sejumlah pejabat teras provinsi hadir pada malam itu. Seperti halnya pada malam-malam istimewa bagi warga Kalbar penganut agama dan tradisi lainnya, malam Imlek juga dirayakan di rumah rakyat itu. Barongsai, kembang api, lampion dan simbol-simbol etnik Tionghoa lainnya ditata dengan indah.
Sejak naiknya Cornelis sebagai orang nomor satu di Kalbar, semua entitas diberikan ruang gerak dan kebebasan berekspresi yang sama porsi dan perhatiannya. Tidak muncul kesan diskrimasi dan “penganak emasan” terhadap salah satu entitas. Itu terlihat dengan mata telanjang, nyata dan bukan sekedar retorika.
Terbukti, pada saat Natal, Gubernur yang seorang Dayak--Katolik ini merayakannya dengan wajar di Pendopo. Pun begitu pada saat Idul Fitri, ia yang bukan seorang Muslim tetap ikut memfasilitasi perayaan itu di Pendopo. Bersama Ketua DPRD Kalbar, Zulfadhli, pada malam takbiran ia membunyikan meriam karbit di Pendopo. Meriam karbit sebuah tradisi orang Melayu-Islam menyambut Lebaran ia “gotong” ke Pendopo. Ini belum pernah terjadi pada gubernur-gubernur Kalbar sebelumnya.
Lebaran, Natal, Imlek atau hari besar lainnya merupakan media, ruang untuk mengekspresikan keyakinan dan kegembiraan para penganut agama atau budaya. Ia menjadi sebuah penyaluran terhadap ekspresi keyakinan dan keimanan para penganutnya. Sudah selayaknya memang bagi Negara yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan memberikan kemerdekaan bagi warganya untuk merayakan hari besar itu.
Perayaan Imlek di Indonesia paska gerakan reformasi semakin mendapatkan ruang yang luas. Kebijakan pemerintah di zaman Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang mencabut Kepres yang mengekang kebebasan dan adat istiadat masyarakat Tionghoa di Indonesia menjadi momentum bangkitnya budaya Tionghoa di Indonesia.
Membincang tentang ruang ekspresi warga Tionghoa di Indonesia memang tidak bisa lagi berangkat dari paradigma zaman kolonial. Di zaman penjajahan prasangka dan kecurigaan antar entitas menjadi panglima dan struktur politik yang dibangun oleh penjajah. Dengan modal politik pecah belah devide et impera, Belanda sukses membungkam potensi besar bangsa Indonesia. Persatuan adalah musuh besar pemerintah Hindia Belanda. Sangat disayangkan bila kebijakan dan model politik itu masih dikembangkan oleh pemerintah di era kemerdekaan.
Wakil Gubernur, Christiandy Sanjaya menentang keras pandangan politik yang masih meragukan nasionalisme etnis Tionghoa di kancah politik nasional. Ia menyayangkan masih adanya paradigma pra kemerdekaan yang dipakai sebagian pihak untuk menilai etniknya.
“Kita tidak bisa pungkiri di masa lalu ada pertikaian antar anak bangsa, itu bagian dari sejarah. Tapi kita tidak bisa hidup dengan praduga seperti itu selamanya,” kata Christiandy saat berbincang dengan rombongan jurnalis Borneo Tribune menghadiri open house di kediamannya, Jalam GM Said.
Christiandy di tengah-tengah acara Imlek yang dihadiri sejumlah petinggi provinsi tampak berbincang serius dengan jajaran redaksi Borneo Tribune. Isu keretakan sosial yang membayangi momentum perayaan Imlek dan Cap Go Meh mendapat apresiasi serius darinya.
Christiandy sebagai wakil warga Tionghoa Kalbar yang kini duduk di kursi eksekutif tertinggi, berharap prasangka dan kecurigaan terhadap warga Tionghoa bisa dikesampingkan. Secara geneologis Ia menilai tak ada yang terlalu dipersoalkan antara Tionghoa dan anak bangsa lainnya. “Saya baca tulisan Pak Suwito, rupanya China itu yang Melayu juga. Itu kan artinya tidak ada perbedaan antara kita,” katanya.
Meski begitu, secara etnisitas Christiandy menyebut dirinya lebih merasa dihargai disebut sebagai Tionghoa, bukan China.
“Kami bukan China. Ini soal nasionalisme, kalau China kan ada negaranya. Sedangkan kita sudah menjadi bagian dari negeri ini. Tidak mungkin kita juga mengaku sebagai China sementara kita hidup sebagai warga Negara Indonesia,” seru pemilik nama asli Bong Hong San ini.
Harapan Christiandy terhadap identitas budaya dan nasionalismenya sebagai warga Negara bukan sautu bentuk utopia atau euphoria. Secara kultural asimilasi budaya juga telah merasuk dalam raga warga Tionghoa. Proses kawin mawin antar warga telah terjalin antara warga Tionghoa dengan etnis lainnya.
“Paman saya kawin dengan orang Melayu Sambas. Saya manggilnya Pak Long. Kita sudah lama punya ikatan dengan saudara-saudara kita yang kebetulan Melayu. Jadi kalau sama-sama kita kok ada bertikai, saya merasa heran,” ujar Wagub di hadapan para tamu-tamunya yang lain.
Jika menilik perjalanan sejarah bangsa ini, secara jujur harus diakui peran warga Tionghoa untuk republik tidak sedikit. Sama seperti warga peranakan lainnya, seperti Arab atau Eropa. Nama-nama seperti John Lie, perwira militer di Angkatan Laut RI di zaman kemerdekaan, Soe Hok Gie, aktivis idealis, atau Yap Thiam Hien sang pejuang HAM tidak diragukan dedikasi dan nasionalisme mereka. Masih banyak deretan nama-nama tokoh Tionghoa lainnya yang telah dan akan memberikan kiprah dan perjuangan mereka bagi republik ini. Alangkah naifnya jika, sesama anak bangsa kita menghalangi mereka memberikan darmanya pada ibu pertiwi.

4 komentar:

LEMBAGA BINA MASYARAKAT DESA mengatakan...

Mereka yang anggap Bangsa Cina Indonesia sebagai alien, mereka inilah bukan nasionalist, sebab mereka cuba membakar api.

Arkan mengatakan...

Sudah gak jaman nya lagi permasalahkan soal ethnic, ras, apalagi agama...
yang penting bagaimana kita harus bersama2x menyelamatkan bangsa ini...

gak ada agama manapun yg mengajarkan untuk saling bertengkar
kalo ada yang buat aturan sendiri dengan bawa2x nama agama itu apa ya namanya.....

sudah keren banget om kita merangkul semua ethnic & agama, tidak beda-beda kan...

baru kali ini sy melihat ada acara perayaan semua hari besar di rumah om gub... mantab

suara betang mengatakan...

lea mae mau tolerasi. kadek satiap mengirim duta kesenian kak luar kalbar, dari dinas pariwisata provinsi pasti urang laut maan. urang diri dah jarang di incakng. kadek ngagok sanggar tari diri' pun, kak dinas pariwisata koa ngagoknya sanggar diri' nang mayoritas anggotanya urang laut.
ganti maan kapala' dinasnya man kabid2 nya man urank diri'.

berita diri' mengatakan...

Budaya dan kesenian merupakan Identitas Bangsa dan bangsa yang punya indentitas merupakan bangsa yang memiliki, tingkat interaksi sosial dan nasionalisme yang besar. dan kokoh. tapi bagaimana terhadap mavia seni di Kalbar. mavia seni adalah. orang yang untuk kepentingan pribadinya menggunakan kesenian sebagai Objek untuk mengangkat citranya sendiri. tetapi pelaku kesenian dan para pahlawan kesenian yang lainnya menjerit. permasalahannya adalah. Disbudpar kurang jeli dan tidak punya data base dalam memilih sanggar-sanggar Dayak / melayu yang aktiv berkesenian. hingga yang berangkat menjadi duta. kesannya: sanggarnya dinas Kebudayaan Prov. karena tidak pernah berganti. dengan alasan yang lain tidak siap. kemudian masih rasis. komposisi sanggar Dayak sebagai duta keluar negeri sangat - sanggat kurang diberi kesempatan. padahal dunia ini tahu bahwa pulau kalimantan adalah pulau Dayak. karna orang Dayak hanya ada di Kalimantan... labih edo'nya kadek pak uda' Cornelis nian, ngagok Kadis, Kabid budaya koa harus orang diri. karena Budaya diri'lah nang buat kalbar nian katelean urakng luar. dan mayoritas budaya nang kak kalbar nian budaya diri' hingga urang diri'lah nang nuan. kadek Kadis man Kabid koa urakng non diri' ia ndak nuan, bahkan inak paduli mao ancur kek atau beradu domba kek sanggar diri' ia lepas tangan. Manipulasi laporan team kesenian bahkan bisa dimanipulasi oleh oknum tertentu. misalnya dengan laporan ngicakng sanggar diri katanya. padahal hanya nama sanggar koa maan nang make bahasa diri. tapi angotanya urakng laut. atau menggunakan urakng diri nang penakut. kayak kerbau ditusuk idung, sebagai tameng untuk mengimbangi agar ada urakng diri nang di incakng jadi duta kesenian. Padahal Sanggar-Sanggar diri' nang aktiv koa ada kak rumah adat. misalnya.Bengkawan, SSB, Flamboyan. kami sangat mengharapkan Pak Uda' Cornelis, Mare masukan man Kabid. tentang data base sanggar diri harusnya ada. dan adil dalam mengirim duta kesenian.jangan itu2 terus. dan prioritaskan urang Diri'. sebab dalam tahun nian lebih manyak berangkat koa urakng laut. kak istana negara Jakarta maan, dua sanggar mewakili kalbar koa. sanggar laut samua. emangnya kalbar nian milik urakng laut. makasih boh.

 
Copyright  © 2007 | Design by uniQue             Icon from : FamFamFam             Powered by Powered By Blogger