Adil Ka' Talino, Bacuramin Ka' Saruga, Basengat Ka' Jubata....

Minggu, 16 Maret 2008

PAH II DPD RI Usul RUU Baru

Panitia Ad Hoc II Dewan Perwakilan Daerah RI mengusulkan akan menyusun RUU tentang Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan, Sabtu (16/2) pagi di Balai Petitih Kantor Gubernur Kalbar. Usulan ini tentunya melibatkan beberapa sektor yang peduli terhadap kehutanan Kalbar, guna menampung aspirasi dari pihak eksekutif, legislatif dan para stakeholders. Kerjasama yang dilakukan PAH II DPD RI bersama Pemprov Kalbar, dimaksudkan untuk mengantisipasi isu pemanasan global yang semakin marak.

Sarwono Kusumaatmadja, Ketua PAD II DPD RI mengatakan bahwa solusi dalam permasalahan kebakaran hutan dan lahan yang berdampak pada perubahan iklim dan pemanasan global adalah kemampuan untuk menerapkan keselarasan dan kerjasama antar sektor baik pemerintah pusat dengan pemerintah daerah maupun antar-pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan negara lainnya, yang berkaitan dalam pengelolaan hutan dengan berlandaskan pada kepedulian terhadap lingkungan yang berbasis komunitas. Sehingga, hal tersebut menjadi kebutuhan penting dalam konteks mengurangi dampak perubahan iklim dan pemanasan global.
Ia menambahkan untuk memecahkan solusi ini masyarakat dan pemerintah perlu membangun komitmen yang cerdas dalam menangani kebakaran hutan dan lahan.
Berdasarkan data yang dihimpun PAH II DPD RI, pada tahun 2002 dan 2005 yang lalu, kebakaran hutan dan lahan terjadi dengan skala yang cukup besar terutama diakibatkan oleh konversi hutan di lahan gambut.
Sarwono menegaskan, bahwa RUU yang akan disusun ini, akan berdampak efektif karena jelasnya telah terfragmentasi dan ada peraturan Pemerintahnya yang diterbitkan pada tahun 2001.
“Kekacauan aturan membuat langkah-langkah kita untuk mencegah dan mengendalikan kebakaran hutan itu menjadi tidak efektif karena koordinasinya lemah,” ungkap Sarwono mantan Menteri KLH dan Menpan ini di hadapan wartawan.
Maka, jelas Sarwono berbagai aturan yang statusnya dibawah undang-undang itu harus ditarik keatas menjadi undang-undang dan melihat semua pelaku apakah itu pemerintah, pengusaha, masyarakat. Hal ini, ujarnya sangat penting mengingat Indonesia saat ini memiliki peringkat penghasil emisi karbon yang sangat tinggi se dunia nomor empat.
Undang-undang ini ungkapnya dalam proses untuk segera direalisasikan, pengajuan RUU jelas Sarwono diperkirakan Agustus mendatang dapat diajukan ke DPR RI , “Tetapi seperti yang saya katakan tadi ini tidak akan berhenti disini karena masuk draftnya ke DPR kita juga harus memastikan DPR menghiraukan prioduk ini dan menindaklanjutinya,” ujarnya.
Ia menambahkan, bahwa RUU ini secara otomatis akan mementahkan peraturan-peraturan yang berada di bawahnya.
Di Indonesia memiliki 20 juta hektar lahan gambut yang sebagian besar terletak di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan. Hutan dan lahan gambut yang telah terdegradasi tersebut menyebabkan kehilangan keseimbangan ekologis sehingga rentan terhadap kebakaran.
Padahal, hutan pada lahan gambut mempunyai peranan penting dalam penyimpanan karbon (30% kapasitas penyimpanan karbon global dalam tanah) dan moderasi iklim sekaligus memberikan manfaat keanekaragaman hayati, pengatur tata air, dan pendukung kehidupan masyarakat.
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, kebakaran hutan dan lahan ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) yaitu PP Nomor 4 Tahun 2001 tentang pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.

Tidak Efektif
Tri Budiarto, Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Provinsi Kalbar, menganggap bahwa RUU yang disusun dikhawatirkan tidak efektif, karena menurutnya dengan adanya aturan belum tentu menyelesaikan masalah. “Jangan ada UU baru yang tidak menyelesaikan masalah,” pintanya.
Hal yang paling penting menurutnya adalah dengan cara memperkuat institusi dan mengembangkan penyuluh lapangan yang serius. Diakuinya, membangun perspektif membutuhkan waktu, sedangkan proses hukum yang terlalu lama seharusnya menjadi sebuah evaluasi bagi instansi terkait.
“Ada tiga perspektif yang harus diperhatikan yakni, mampu mengetahui sebab akibat dari persoalan tersebut,” kata Tri di tempat yang sama.
Menurutnya, perspektif tersebut berkaitan dengan sosial dan cultural, bagaimana institusi tersebut dapat membangun dan mendorong lebih cepat, selain itu intervensi yang ada harus sangat sederhana dan intensif. Tidak hanya itu, persoalan hukum pun ujarnya, perlu evaluasi yang lebih giat lagi yaki kasus yang diajukan ke pengadilan harus dijerat sesuai UU.□Aulia Marty/Borneo Tribune

0 komentar:

 
Copyright  © 2007 | Design by uniQue             Icon from : FamFamFam             Powered by Powered By Blogger