Adil Ka' Talino, Bacuramin Ka' Saruga, Basengat Ka' Jubata....

Senin, 21 Januari 2008

"Anak Kolong" Jadi Gubernur Kalbar


Politik tak pernah kekal. Dia selalu berputar mengikuti waktu. Begitupun dengan Cornelis—yang merintis karier politik dari bawah, tanpa diduga bisa jadi orang nomor satu di Kalbar untuk periode 2008-2013.

Drs. Cornelis, MH (55) memulai karier politik berangkat dari ketidaksengajaan. Dia mulai mengenal PDI Perjuangan sebagai penasehat DPC PDI Perjuangan Kabupaten Landak. Dalam perjalanannya, Rudy Alamsyahrum, BE yang menjadi nahkoda DPD PDI Perjuangan Provinsi Kalbar meninggal dunia.
Sejak saat itu terjadi kekosongan ketua DPD PDI Perjuangan. Untuk mengisi kekosongan itu, diadakan Musda khusus—terpilihlah Cornelis yang ketika itu sebagai Bupati Landak.
Di bawah kepemimpinannya, PDIP maju pesat, bahkan dalam pemilu 2004 lalu PDIP menjadi pemenang kedua. Dia hanya kalah dengan Partai Golkar. Namun dalam Pilpres masih di tahun yang sama, PDIP menang di Kalbar.
“Dalam Pilpres, Kalbar satu-satunya provinsi yang bisa memenangkan PDIP di Indonesia dan itu menjadi catatan tersendiri bagi ibu Mega dalam menghadapi Pilpres 2009 mendatang,” ujar sahabatnya, Drs. Cornelis Kimha, M.Si saat Musda Iska Korda Provinsi Kalbar, beberapa waktu lalu.
Karier politik Cornelis terus menanjak, hingga klimaksnya dia terpilih sebagai gubernur Kalbar dalam pemilu gubernur 15 November 2007 lalu.
Kalau karier pemerintahan, memang dia termasuk pejabat yang meniti karier dari bawah. Terlahir dari keluarga yang biasa saja. Ayahnya bernama JR. Djamin Indjah, seorang purnawirawan polisi berpangkat Brigadir Satu Polisi (Briptu). Sedangkan ibunya, adalah Maria Christina Uko, seorang ibu rumah tangga.
Memang untuk mengapai posisi orang nomor satu di Kalbar ini tidak semudah yang dibayangkan, harus melewati perjalanan panjang dan perjuangan yang berliku-liku pula. Corneslis bagaikan batu cadas yang sanggup mencapai puncak kepemimpinan tertinggi di tingkat provinsi itu, justru berangkat dari berbagai kesulitan dan himpitan ekonomi keluarga.
Bila kita sejenak melihat kebelakang, Cornelis bukanlah siapa-siapa. Kariernya dimulai sebagai staf pada kantor camat di Kecamatan Mandor Kabupaten Pontianak. Bahkan suatu ketika ia pernah mengatakan, “Jangankan untuk menjadi gubernur, jadi bupati saja tidak pernah terbayangkan. Pendidikan yang dilaluinya hanya untuk menjadi camat, ini sungguh mukjizat,” ujarnya beberapa saat setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah Provinsi Kalbar menetapkan Cornelis dan pasangannya, Drs. Christiandy Sanjaya, SE, MM sebagai gubernur dan wakil gubernur Kalbar terpilih untuk periode 2008-2013.
Cornelis kecil sudah terbiasa dengan aturan dan kedisiplinan. Ayahnya yang seorang polisi mengajarkan bagaimana hidup disiplin. Karena dengan disiplinlah kunci sukses seseorang. Mulai dari jam belajar, tidur, makan dan termasuk bekerja mambantu sang mama berkebun.
Pada waktu itu, sedikit putra daerah yang bisa jadi polisi. Dan Djamin Indjah termasuk putra daerah yang beruntung bisa mengenakan seragam coklat tua itu.
Setelah jadi polisi, Djamin Indjah mengawali tugasnya di Semitau, Kabupaten Kapuas Hulu. Dari Semitau, selanjutnya ditugaskan ke Sanggau, hingga ia menyunting seorang gadis bernama Maria Christina Uko.
Buah perkawinannya dengan Uko, Djamin Indjah dikaruniai delapan putra/putrid. Mereka adalah Cyrillus, Cornelis, Redempta, Amandus, Eutropia, Yulia, Agustina dan Rosalina.
Cornelis sendiri dilahirkan di Sanggau pada tanggal 27 Juli 1953. Itu setelah orangtuanya dipindah tugas ke Bumi Daranante. Dari Sanggau, Djamin Indjah ditarik ke Polres Pontianak.
Namun karena kebutuhan di daerah, Djamin Indjah kembali ditugaskan ke Polsek Sukadana Kabupaten Ketapang. Di sini Cornelis sempat menghabiskan masa kecilnya bermain bersama Oesman Sapta Odang (OSO). Lazimnya anak kecil, dalam berteman mereka sering juga berkelahi hingga bertinju. “Tapi itu masa kecil, biasa anak kecil main tinju-tinjuan. Karena saya kecil, jelas saya yang kalah bila kelahi sama OSO,” kenang Cornelis.
Dari Sukadana, Djamin Indjah ditugaskan ke Polsek Ngabang. Lama bertugas si Ngabang lalu ditarik ke Polda Kalbar hingga pensiun pada tahun 1974.

Jadi kuli

Dalam buku biografinya yang ditulis oleh Dr. M Ikhsan Tanggok, Cornelis mengungkapkan bahwa untuk menjadi pemimpin tidaklah harus berasal dari kalangan orang berduit saja, namun dengan kerja keras dan sungguh-sungguh dalam belajar dapat juga menjadi pemimpin, minimal di daerah masing-masing.
Dan Cornelis membuktikan ucapannya tersebut. Meskipun hidup serba kekurangan, tinggal di barak polisi yang sempit. Bahkan ia harus rela tidur di bawah tempat tidur (kolong), namun tak menyurutkan tekadnya untuk menjadi pemimpin.
Setelah melewati jalan berliku dan mengenyam sulitnya hidup yang berpindah-pindah (ikut ayahnya pindah tugas), mantan Camat Menyuke (Banyuke-Darit) ini dipercaya dua periode sebagai bupati Kabupaten Landak.
Modal dasar untuk menjadi pemimpin kerja keras dan sungguh-sungguh dalam belajar. Ekonomi bukan hambatan untuk mencapai cita-cita, tapi dengan usaha keras dan penuh keyakinan siapapun dapat memperoleh apa yang dicita-citakan.
Cornelis muda merintis kariernya dari keluarga biasa-biasa saja bahkan serba kekurangan. Di usia sekolah ia nyambi sebagai penoreh getah untuk mencari tambahan dan membantu keluarga. Namun masa-masa sulit itulah yang akhirnya menempa Cornelis hingga menjadi pemimpin yang tegar serta disegani karena kedisiplinannya.
Walau sudah meraih sukses, Cornelis tak segan-segan mengungkapkan bahwa ia pernah bekerja sebagai kuli sebuah toko karet di Desa Senakin. Lalu untuk melanjutkan sekolahnya di SMA di Pontianak, ia harus bermalam di tengah hutan selama dua bulan bersama tiga orang temannya menorah getah. Uang hasil menoreh getah itulah yang kemudian dijadikan sebagai modal awal masuk sekolah di SMA Katolik Santo Petrus Pontianak. Sekolah ini bagus dan terkenal punya disiplin yang tinggi.
Malang, situasi politik berubah begitu cepat. Ayahnya yang anggota polisi dijebloskan ke penjara karena dituduh sebagai penggerak massa melakukan ethnic cleansing terhadap PGRS-Paraku. Meskipun tuduhan itu susah dibuktikan.
Cornelis yang sudah terlanjur sekolah di Pontianak harus mencari akal untuk hidup dan membiayai sekolahnya. Berbagai pekerjaan pun dilakoni, diantaranya menjadi kuli angkut di pelabuhan motor air Kapuas Indah. Upahnya lumayan untuk sekadar mengisi perut. Seiring dengan itu proses belajar mulai terbengkalai. Akhirnya karena tak mampu membayar uang sekolah dan uang sumbangan gedung, ia tidak dinaikan ke kelas 2 SMA.
Beruntung, seorang teman membawanya di sebuah sekolah yang agak longgar dan biayanya relatif murah. Hingga akhirnya Cornelis menamatkan sekolahnya di SMA Kapuas Pontianak tahun 1971/1972.
Tempaan hidup yang keras itu ternyata membentuk pribadinya yang ulet bahkan terlihat dalam kepempimpinannya di Kabupaten Landak. Soal kepemimpinan, ia mengaku bukan titisan, tapi dibentuk dan dipersiapkan oleh pemerintah melalui berbagai jenjang pendidikan. Mulai dari APDN Pontianak, Ilmu Pemerintahan UNIBRAW Malang hingga Magister Hukum UNTAN.
Termasuk dalam hal menempatkan pembantu-pembantunya di pemerintahan ia mengutamakan the right man on the right place – yakni menempatkan seseorang sesuai dengan keahlian dan kemampuannya.
Di Kabupaten Landak yang mayoritas masyarakatnya Dayak, toh tak semua pejabatnya orang Dayak. Sejumlah kepala dinas dipegang Melayu, Jawa atau Sunda tanpa memandang latar belakang agama dan suku.


Administrator pemerintahan

Selama 11 hari masa kampanye pemilu gubernur dan wakil gubernur Kalbar, kepada massa pendukungnya Cornelis menegaskan dirinya sebagai seorang administrator pemerintahan. Juga bukan pemimpin yang muncul tiba-tiba atau dari letusan bambu. Tapi pemimpin karier yang dibentuk dan dipersiapkan oleh pemerintah.
Menurutnya untuk memimpin sebuah pemerintahan, bukanlah seorang pedagang atau pengusaha. Tapi seorang administrator. Dan administrator itu mesti melalui pendidikan khusus pula, sehingga dia tahu betul kapan bertindak selaku administrator, kapan bertindak sebagai konseptor dan kapan bertindak sebagai pemimpin.
Dan tiga hal itulah bekal utamanya untuk menyakinkan masyarakat pemilih dalam kampanye lalu.
Administrator pemerintahan, karena dia digembleng di APDN Pontianak, lalu Ilmu Pemerintahan Unibraw, Malang. Untuk mengelola pemerintahan yang baik, maka hukum harus ditegakkan. Dia pun mempelajari ilmu hukum sampai meraih Magister Hukum dari Fakultas Hukum Untan.
Dari latar belakang pendidikan khusus yang ditempuhnya itu, menempatkan Cornelis sebagai sosok yang ideal memimpin Kalbar. Kepintarannya tidak diragukan. Kemampuan di pemerintahan sudah terbukti dan teruji dua periode sebagai Bupati Landak. Dia punya nyali untuk membuat perubahan di Kalbar. Dia pun sering berujar “Kalau berani jangan takut-takut, kalau takut jangan berani-berani”.
Makna filosofisnya sangat dalam, hanya Cornelis yang bisa melakoninya. Kita pun makfum, karena dia di didik di keluarga polisi.■Borneo Tribune

0 komentar:

 
Copyright  © 2007 | Design by uniQue             Icon from : FamFamFam             Powered by Powered By Blogger