Adil Ka' Talino, Bacuramin Ka' Saruga, Basengat Ka' Jubata....

Minggu, 18 November 2007

Pemilih Emosional Terbukti Menangkan Pilkada

*Kantung Gemuk Pecah Suara

Nur Iskandar
Borneo Tribune, Pontianak

Empat paket calon gubernur masing-masing UJ-LHK, OSO-Lyong, Akil-Mecer dan Cornelis-Christiandy telah melewati serangkaian proses panjang sehingga mematut diri layak menjadi Gubernur Kalbar 2008-2013. Dari sisi hukum dan UU, serta hak warga negara memang laik dan layak.


Keempat paket di atas telah melewati proses meniti karir emas di bidangnya masing-masing. Keempat calon lahir dan dibesarkan di Kalbar sehingga mengenal Kalbar dan terkenal di Kalbar.
UJ lahir di Sekadau. LHK Kapuas Hulu. OSO Ketapang dan Lyong Kapuas Hulu.
Akil lahir di Kapuas Hulu dan pasangannya AR Mecer Ketapang, sedangkan Cornelis di Sanggau dan pasangannya Christiandy, Singkawang.
Dilihat dari aspek kelahiran masing-masing kandidat punya kantong massa masing-masing. Tetapi untuk Kapuas Hulu dan Ketapang masih harus terbagi-bagi. Namun demikian pembagiannya diyakini tidak 50:50 apalagi daerah kantong suara juga ada yang gemuk dan ada yang kurus—bisa satu lebih besar dari yang lain. Begitupula terhadap Sekadau, Sanggau dan Singkawang, tergantung sebesar apa “magnet” ketokohan sang calon gubernur atau wakil gubernur.
Dilihat dari aspek kemampuan dalam memimpin, kesemua calon sudah membuktikannya piawai, hanya skopnya saja ada yang kecil, sedang dan besar. OSO pernah menjadi Wakil Ketua MPR RI. Akil Wakil Ketua Komisi III DPR RI. UJ CEO A Latief Corporation dan incumbent Gubernur Kalbar. Cornelis Bupati Landak dan Ketua DPD PDIP Kalbar.
Dilihat dari pendamping—dalam hal ini Cawagub—LHK incumbent Wagub dan pernah menjabat sejumlah posisi penting di pemerintahan, seperti Biro Pembangunan Pedesaan; begitupula Ignatius Lyong yang terakhir menjabat Asisten 1 Sekda Pemprov Kalbar.
AR Mecer adalah dosen matematika di FKIP Untan sekaligus pencetus lembaga ekonomi kerakyatan bernama Credit Union yang amat kesohor hingga mancanegara. Sementara Christiandy Sanjaya adalah guru, Kepala Sekolah dan Yayasan YPK Imanuel. Ia juga pernah menjadi anggota DPRD Kota dari Partai Bhinneka Tunggal Ika.
Sejak awal memilih pasangan semua kriteria pasti telah dihitung plus-minusnya. Partai sebagai “perahu” yang akan membawa kandidat juga pasti sudah memberikan pertimbangan-pertimbangan rasional. Konsideran ekonomi, sosial, politik hingga budaya sudah dikalkulasi bersih.
UJ-LHK menyebut diri sebagai pasangan harmonis. Di masa kepemimpinan dua tokoh ini memang selalu seiring. Maka prestasi demi prestasi dapat diraih jika dibandingkan sejumlah kepala daerah dan wakil yang disharmoni. Bahkan di Ketapang Morkes sudah “cerai” dengan Madjun karena tidak cocok paham, lantas masing-masing “berlomba” merebut simpati warga kendati akhirnya incumbent Morkes terpilih kembali.
Di Sambas juga demikian. Terjadi “disharmoni” antara Burhanuddin dan Prabasa. Pada gilirannya di dalam Pilkada langsung Burhanuddin menang mayoritas.
Tanpa perlu mengupas sejumlah kepala daerah di kabupaten-kota, kita melihat harmonisasi itu penting. Jika harmonisasi tak terjadi, maka rakyat jadi korban. Ibarat dua nahkoda yang berebut jentera. Perjalanannya bisa menabrak karang dan penumpang bisa celaka.
Dengan landasan itu pula OSO memilih Lyong. Ia yakin TOSS (simbol kemenangan dengan pertemuan dua buah gelas berisi minuman kegembiraan). TOSS juga berarti Tim Oesman Sapta Sukses.
Akil Mochtar memilih Mecer. Ia yakin inilah pasangan terbaik. “Tak perlu banyak bicara, tapi banyak bekerja,” ungkapnya di mana-mana.
Cornelis memilih Christiandy. Lepas dari tokoh politik dan kependidikannya, Christiandy beretnis China/Tionghoa dan Protestan sehingga yakin dengan jargon, “Bersatu Kita Menang”.
Dan saya berpendapat bahwa kemenangan dalam pilkada gubernur ini amat sangat ditentukan oleh pasangannya masing-masing. Sejauh mana pasangan bisa memainkan peran mengisi kekosongan dari sang Calon Gubernur yang sudah rerata menjadi pemimpin di bidangnya masing-masing.
Adalah menarik di sini mematut Cagub-Cawagub berdasarkan etnisitas dan agamanya. Kendati paham etnis maupun agama lebur dalam simbol NKRI Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tapi tetap satu jua, yakni Indonesia. Namun pemilih kita di Kalbar masih besar tergolong pemilih emosional ketimbang rasional.
Nilai-nilai etnis dan agama belum tentu dinalar sebagai nilai-nilai universal yang mengerucut pada toleransi, kasih sayang, bertindak jujur dan adil. Melainkan sekedar sama, langsung coblos tanpa wira-wiri lagi.
Eriyanto salah seorang pakar riset publik yang kerap meneliti peluang kemenangan calon kepala daerah di Indonesia mengatakan kemenangan dominan diraih oleh mereka yang sensitif dengan pemilih emosional ini. SBY salah satu contohnya. Ia terpilih karena sebagian besar warga bersimpati kepadanya lantaran “teraniaya” di Kabinet Megawati. Ia juga dinilai “ganteng” oleh sebagian pemilih ibu-ibu. Tutur katanya yang cantik memikat hati para intelek.
UJ memilih LHK karena sentuhan emosionalnya harmonis. Konsideran Melayu-Dayak sudah masuk dalam hitungannya. Konsideran Islam-Katolik sudah direken. Termasuk capaian visi-misi harmonis dalam etnis masih laku dijual dalam kampanye. Tentu logis menunjukkan keberhasilan karena dalam 5 tahun kepemimpinannya Kalbar aman, sementara provinsi lain yang masih bergolak amat pahit untuk suksesnya pembangunan seperti Poso dan Ambon, serta Papua. UJ-LHK juga dengan bangga mengampanyekan 12 prestasi nasional yang dicapai semasa kepemimpinannya sehingga sesumbar mengatakan, “Kami tidak mengumbar janji-janji tapi sudah terbukti. Oleh karena itu tinggal melanjutkan agenda besar bisa dicapai ketimbang calon baru dengan konsep baru. Pasti butuh penyesuaian lagi.”
OSO memilih Lyong juga dengan pertimbangan emosional etnisitas, religiusitas, selain intelektualitas. OSO dengan segala nama besarnya, hotel besarnya, bahkan juga “terkaya” dengan dana yang diumumkan KPK sebesar Rp 186 miliar menjamin akan memberantas korupsi. Ia menjual emosi kemarahan rakyat karena korupsi makin menjadi-jadi sembari menawari pendidikan dan kesehatan gratis.
OSO amat yakin menang seiring dengan banjirnya massa selama masa kampanyenya. Termasuk trend yang ditunjukkan sejumlah lembaga survey. Trend OSO-Lyong naik.
Akil juga sadar akan peran “emosi” dalam meraih kemenangan. Untuk itu ia menunjukkan keseriusannya dengan menggalang kekuatan sejak dini. Ia paling dini dan getol berkunjung ke desa-desa. Tak kurang dari 1300 desa dikunjunginya untuk tiga tahun terakhir. Ia membantu dan menarik simpati rakyat kecil di seantero Kalbar.
Akil memilih AR Mecer juga dengan pertimbangan yang amat matang. AR Mecer adalah “Bapak CU”. Asset yang terkumpul sudah ratusan miliar. Jumlah anggota Credit Union ratusan ribu KK.
AR Mecer juga dapat penghargaan di Swedia laiknya peraih nobel. Di kalangan masyarakat Dayak AR Mecer adalah bapak pembangunan. Dialah aktor intelektual yang banyak bekerja daripada umbar kata-kata.
Cornelis memilih Christiandy dengan pendekatan profesional dan pendidikan. Keduanya bergelar master.
Dalam perhitungan Cornelis yang dapat rekomendasi Dewan Adat Dayak untuk menjadi Gubernur pilihan masyarakat Dayak, dengan bergabung dengan konstituen China/Tionghoa maka kemenangannya meraih suara terbanyak sudah di depan mata.
Hitungan matematika dari perahu PDIP ini adalah Dayak plus China/Tionghoa sama dengan bersatu kita menang. Data survey LSI yang dilansir secara berkala menunjukkan trend etnik dan agama solid buat pasangan ini.
Jadi, faktor emosional yang manakah yang akan berhasil keluar sebagai pemikat hati 2.9 juta rakyat pemilih? Cornelis memang paling sensitif dan peka membaca situasi. Ia yakin dengan menjadi nomor satu dia bisa membangkitkan emosi kepemimpinan Gubernur beretnis Dayak pada 41 tahun silam: JC Oevaang Oeray.
“Kini saatnya untuk Dayak tampil sebagai nomor satu. Untuk jadi nomor dua sudah pasti. Dan kalau bukan sekarang, lalu kapan lagi. Saat sekarang adalah kondisi yang paling baik.” Demikian jurkam “jualan” dalam arena kampanye.
Berdasarkan kenyataan memang terjadi konsolidasi dan soliditas suara Dayak. Terlebih dengan sudut pandang ini, totalitas suara kandidat yang muslim sebagai Cagub (muslim identik dengan melayu, pen) menjadi pecah tiga. Maka dengan rumus kemenangan 25+1, Cornelis paling berpeluang menjadi Gubernur Kalbar 2008-2013.
Tetapi matematika kemenangan tidak semudah hal itu, masih banyak faktor yang menjadi variabel penentunya karena hingga kini dari 2,9 juta pemilih sebagian besar adalah floating mass, atau massa mengambang. Terlebih massa pemilih resmi di kantong-kantong suara yang dikuasai Cornelis (Landak, Bengkayang, Sanggau, Sintang, Melawi) bukanlah kantong suara gemuk. Yang paling gemuk adalah Kubu Raya, Sambas, Kota Pontianak dan Kabupaten Pontianak. Mereka inilah yang “under limit” akan menentukan kemenangan pasangan Cagub-Cawagub. Jika suara di kantung-kantung gemuk dikuasai UJ, maka incumbent akan tetap terpilih. Begitupula jika seluruhnya ke OSO atau IM3.
Pada akhirnya, dari berbagai sudut pandang, mulai dari fisik jasmaniah hingga mental ruhaniah maupun manuver politik, upaya menuju KB1 sudah punya kekuatannya masing-masing, tergantung retak tangan keberuntungannya masing-masing pula. Tergantung pula kepada siapa akhirnya Tuhan menggerakkan hati setiap pemilik suara untuk mencoblos nomor berapa.
Jika diibaratkan dengan final bola piala dunia, tim-tim yang berlaga antara 1, 2, 3, 4 sama-sama punya nama tenar. Masing-masing punya reputasi dan kans untuk keluar sebagai pemenang utama.
Namun bola itu bundar. Dalam waktu injuiry time pun masih bisa tercipta peluang sehingga yang under-dog pun bisa menciptakan gol sehingga tampil sebagai jawara.

Kantung Gemuk Pecah Suara
Pertanyaan paling mendasar masyarakat hari ini selain keamanan, juga adalah siapa dari kandidat yang bakal keluar sebagai pemenang. Prediksi-prediksi selama ini sudah banyak beredar. “Namun soliditas 100% nyaris tak akan terwujud melainkan semua membentuk irisan-irisan persinggungan. Dengan demikian sesungguhnya semua kelompok akan pecah,” ungkap pakar sosiologi asal Universitas Indonesia yang menyelesaikan program doktoralnya di Den Haag-Belanda soal konflik di Kalbar, M Iqbal Jayadi saat hadir berdiskusi di Harian Borneo Tribune.
Berdasarkan pendapatnya itu prediksi kemenangan dapat ditelusuri dari 2.930.245 pemilih tetap bakal mengarah kepada siapa. “Siapa dari empat pasangan kandidat yang berhasil menguasai kantung-kantung suara yang “gemuk” maka dia akan dapat diterka bakal memenangkan Pilkada yang menerapkan rumus kemenangan 25% plus 1,” timpal Sujadi, anggota KPU Kota ketika diskusi soal prediksi siapa yang bakal keluar sebagai pemenang dalam Pilgub Kalbar hari ini, Kamis (15/11).
Sebaran suara dengan urutan dari gemuk ke kurus adalah Kabupaten Pontianak, Kota Pontianak, Sambas, Ketapang, Sanggau, Sintang, Landak, Kapuas Hulu, Bengkayang, Singkawang, Sekadau dan Melawi.
Keempat kandidat masing-masing Usman Ja’far-Laurentius Herman Kadir, Oesman Sapta-Ignatius Lyong, Akil Mochtar-AR Mecer dan Cornelis-Christiandy tentu saja sudah memperhitungkan “merebut” simpati suara di kantung-kantung gemuk tersebut. Oleh karena itu sasaran kampanye paling besar disasarkan kepada kantung-kantung suara gemuk tersebut dengan berbagai pendekatan.
Pada umumnya kantung-kantung gemuk ini terdiri dari orang-orang yang terdidik dan terpelajar sehingga mudah menangkap apa yang dikampanyekan, bagaimana gerak dan aktivitas serta track-record dari masing-masing pasang calon.
Dari sisi suara memang banyak, tapi ke mana mereka menentukan pilihan juga tidak mudah ditebak akan menuju kepada siapa. Masing-masing kandidat punya plus-minusnya.
Oleh karena itu menarik membandingkan pemilih di kantung gemuk dengan kurus. “Yang kurus-kurus bersatu juga bisa jadi gemuk sehingga potensi kemenangan tinggal ditambah sedikit saja dari kantung-kantung gemuk,” timpal Sujadi. Dengan demikian yang paling masuk akal adalah kandidat yang menguasai dominan daerah gemuk kemudian ditambah sedikit dari kantung-kantung suara daerah kurus.
Kantung-kantung gemuk relatif berada di pesisir. Jika ditotalkan antara Kabupaten Pontianak, Kota Pontianak, Sambas dan Ketapang sudah berjumlah 1.550.614. Ini melebihi 50% suara total pemilih. “Logikanya, siapa kandidat yang menguasai kantung gemuk tersebut maka dia akan keluar sebagai pemenang,” timpal Sujadi.
Tapi di kantung-kantung gemuk ada tiga pasangan yang “berebut” massa. Di sinilah dinilai potensi suara akan “pecah” sehingga berbagi 1/3. Atau sekitar 500-an ribu suara. Entahlah jika ternyata pecahnya ada yang berat sebelah, atau tidak merata.
Kantung-kantung kurus juga tidak bisa dianggap remeh. Jika soliditasnya utuh, bisa mengungguli perolehan suara dari kantung daerah gemuk. “Kalau kantung daerah gemuk kalah, ya mestinya evaluasi di Pilkada yang akan datang,” komentar pengamat sosial, Marzuki Pasaribu. Sosok yang satu ini lebih mengajak masyarakat memilih secara rasional daripada emosional. “Membangun Kalbar mesti bersama-sama. Mestinya para kandidat juga berpikir begitu terlepas dari siapa pun yang menang,” ungkapnya.
Kata Marzuki yang menang mesti didukung. Yang kalah juga diberdayakan untuk bersama-sama membangun Kalbar. “Inilah pesta demokrasi,” ujarnya.
Dari berbagai analisa, mulai dari kantong suara parpol, aktivasi etnis, dukungan organisasi agama, pemilih rasional dan emosional hingga kantung-kantung gemuk-kurus tak lebih daripada analisa-analisa belaka. Tetap saja bukti konkretnya ditentukan oleh para pemilik suara hari ini. Itu pun jika tidak banyak yang golput. 

0 komentar:

 
Copyright  © 2007 | Design by uniQue             Icon from : FamFamFam             Powered by Powered By Blogger