Adil Ka' Talino, Bacuramin Ka' Saruga, Basengat Ka' Jubata....

Senin, 26 November 2007

Jadi Pemimpin Tak Mesti dari Kalangan Berduit


Judul : Drs. Cornelis, MH; Anak Kolong Jadi Bupati Menuju Kursi Gubernur
Penulis : Drs. M Ikhsan Tanggok
Penerbit : PERAK, Ciputat Jakarta
Halaman : vi + 170; soft cover
Peresensi : Stefanus Akim

“Untuk menjadi pemimpin tidaklah semestinya berasal dari kalangan orang berduit, namun dengan kerja keras dan sungguh-sungguh dalam belajar dapat juga menjadi pemimpin di daerah masing-masing,” tulis Cornelis dalam kata sambutannya dalam buku biografi yang ditulis Drs M Ikhsan Tanggok ini.

Cornelis membuktikan ucapannya tersebut. Meskipun hidup serba kekurangan, tinggal di barak polisi yang sempit bahkan tidur di bawah tempat tidur, namun tak menyurutkan tekadnya untuk menjadi pemimpin. Bahkan mantan Camat Menyuke (Banyuke-Darit) ini dipercaya dua periode sebagai bupati Kabupaten Landak.

Modal dasar untuk menjadi pemimpin kerja keras dan sungguh-sungguh dalam belajar. Ekonomi bukan hambatan untuk mencapai cita-cita, tapi dengan usaha keras dan penuh keyakinan siapapun dapat memperoleh apa yang dicita-citakan.

Cornelis muda merintis karirnya dari keluarga biasa-biasa saja bahkan serba kekurangan. Di usia sekolah ia nyambi sebagai penoreh getah untuk mencari tambahan dan membantu keluarga. Namun masa-masa sulit itulah yang akhirnya menempa Cornelis hingga menjadi pemimpin yang disegani karena kedisiplinannya.

Secara umum buku ini menggambarkan Cornelis dari sejak masa sekolah hingga ia meniti hari-harinya sebagai Bupati Kabupaten Landak. Diceritakan misalnya, Cornelis rela bekerja sebagai kuli sebuah toko karet di Desa Senakin. Untuk melanjutkan sekolahnya di SMA di Pontianak, ia harus bermalam di tengah hutan selama dua bulan bersama tiga orang temannya. Uang hasil menoreh getah itulah yang kemudian dijadikan sebagai modal awal untuk masuk sekolah di SMA St Petrus Pontianak.

Malang, situasi politik berubah begitu cepat. Ayahnya yang anggota polisi dijebloskan ke penjara karena dituduh sebagai penggerak massa melakukan ethnic cleansing terhadap PGRS-Paraku. Meskipun tuduhan itu susah dibuktikan. Cornelis yang sudah terlanjur sekolah di Pontianak harus mencari akal untuk hidup dan membiayai sekolahnya. Berbagai pekerjaan pun dilakoni, diantaranya menjadi kuli angkut di pelabuhan motor air Kapuas Indah. Untuk sekadar mengisi perut. Seiring dengan itu proses belajar mulai terbengkalai. Pada akhirnya karena tak mampu membayar sumbangan uang gedung ia tak naik di kelas 2 SMA.
Beruntung, seorang teman membawanya di sebuah sekolah yang agak longgar dan biaya relatif murah. Hingga akhirnya Cornelis menamatkan sekolahnya di SMA Kapuas Pontianak tahun 1971/1972.
Buku ini juga menyinggung cara kepemimpinan yang diterapkan dalam memimpin Kabupaten Landak. Termasuk menempatkan the right man on the right place – menempatkan seseorang sesuai dengan keahlian dan kemampuannya. Di Landak yang mayoritas Dayak misalnya tak semua pejabatnya orang Dayak. Sejumlah kepala dinas dipegang Melayu, Jawa atau Sunda tanpa memandang latar belakang agama.
Secara umum buku ini memiliki cukup banyak informasi tentang siapa dan bagaimana Cornelis hingga menjadi pemimpin di Landak dan Kalbar. Termasuk sedikit gambaran tentang situasi politik, pendidikan, dan perekonomian di masa-masa Cornelis berjuang kala itu.
Nah, mungkin yang mengganggu dalam buku perpaduan antara foto Cornelis, sang saka merah putih serta berlatar merah darah ini terdapat kesalahan ketik. Termasuk beberapa kali nama Cornelis ditulis Kornelis, termasuk di salah satu caption foto. Meskipun demikian secara umum buku ini menyajikan informasi yang banyak dan padat dan tidak mengganggu isi buku secara keseluruhan.□

0 komentar:

 
Copyright  © 2007 | Design by uniQue             Icon from : FamFamFam             Powered by Powered By Blogger